Ada yang sangat sulit dilakukan dalam kehidupan pengasuhan ini. Bukan, bukan anak-anak yang sulit mendengarkan, mereka memang begitu, seharusnya tidak begitu menjadi masalah. Juga bukan tentang kemajuan era digital yang semakin menantang. Itu memang menantang, tapi yang lebih sulit dari semua itu adalah mengasuh diri kita sendiri, agar menjadi teladan yang baik bagi anak-anak.
Mengapa jiwa kita perlu diasuh kembali? Seharusnya tidak perlu, jika semasa kecil kita, tumbuh di lingkungan yang sehat, memiliki pola komunikasi yang efektif, tidak kurang akan kasih sayang, tidak perlu merasakan bentakan atau pukul, tidak perlu mendengar verbal bullying seperti olok-olok, perbandingan, peremeh-an, dan masih banyak hal lain yang bisa menjadi luka masa kecil.
Mungkin ingatan kita tidak mengingat semuanya, tapi jiwa kecil kita telah menyimpannya rapi dalam alam bawah sadar. Itulah mengapa, sekalipun banyak belajar ilmu pengasuhan, rasanya sulit sekali merubah diri, mengendalikan amarah, lebih sabar dan telaten berkomunikasi dengan anak-anak, atau sekedar lebih mudah menerima kondisi anak-anak apapun keadaannya. Rasanya sulit dan hanya menyisakan tekanan batin, karena otak kita telah menyimpan pengetahuan bagaimana sebaiknya, namun jiwa kita sulit mengendalikan kondisi emosi, dan mengontrol perilaku.
Kita sering keceplosan membentak anak, marah-marah untuk sesuatu yang sepele, dan tidak sabar menunggu mereka berproses (belajar sesuatu). Selepas melakukan itu, kita merutuki perbuatan kita, menangis, menyesali, dan syukur-syukur jika kita mau minta maaf. Mungkin semua terlihat selesai, anak-anak akan terus memeluk kita, mereka terlihat lupa, namun bagaimana jika jiwanya menyimpan semuanya dengar rapi dalam memory jangka panjang? Bagaimana jika perbuatan kita menganggu mental mereka sehingga membentuk mereka menjadi pribadi yang lemah, tidak percaya diri, sulit mengkondisikan emosi, dan lainnya? Apakah siklus pengasuhan yang salah ini akan terus berulang?
Itulah jawaban dari pertanyaan mengapa mengasuh kembali jiwa kita menjadi penting. Bukan untuk menyalahkan atau pengasuhan yang keliru yang dilakukan oleh orangtua kita, namun untuk merangkul jiwa kecil kita yang terluka agar pulih, agar menerima, dan tahu caranya untuk bertumbuh dengan benar.
Lalu seperti apa mengasuh kembali jiwa kita? dalam bahasa Psikologi, ini dimanakan re-parenting atau suatu proses pengasuhan ulang yang dilakukan diri sendiri atau dengan bantuan oranglain untuk hal-hal yang terlewat (atau perlu diperbaiki) dari masa kanak-kanak, meliputi dukungan emosional, keterikatan, kasih sayang, rasa aman, dan sesuatu yang bersifat psikologis lain. Tujuannya bukan menyalahkan orangtua, namun menemukan kesalahan atau kekeliruan pengasuhan di masa lalu.
Re-parenting bisa dilakukan oleh diri sendiri, dengan batasan orang tersebut mau dan mampu melakukannya. Hal ini biasanya terjadi pada luka pengasuhan yang tidak memberikan dampak psikologis yang begitu besar. Jika dampak psikologisnya sangat mengganggu kehidupan sehari-hari sehingga membuat orang tersebut terganggu kehidupan sehari-harinya secara normal, maka ia sudah membutuhkan bantuan ahli untuk melakukannya. Dibutuhkan kesadaran diri untuk mencari bantuan pada psikolog atau psikiater.
Reparenting, bisa saja menjadi sebuah proses yang cukup lama dan berjalan sensitive. Karena ibaratnya, kita hadirkan kembali untuk membuka fakta-fakta, sekali lagi bukan untuk menuntut pembalasan, namun berdamai dengan hal tersebut. Satu hal yang harus kita yakini adalah, lingkungan atau orangtua kita, melakukan hal tersebut di masa lalu, bukan dengan sengaja atau berniat buruk, Mereka pasti lah juga merupakan korban dari kekeliruan pengasuhan masa sebelumnya. Jadi, tugas kita sebenarnya adalah memutus rantai kekeliruan dalam pengasuhan, agar anak cucu kita tidak perlu merasakan luka pengasuhan masa lalu.